Pengertian Ibadah Haji - Syarat, Rukun, dan Wajib Haji.


Syarat Haji

1. Islam
2. Akil Balig
3. Dewasa
4. Berakal
5. Waras
6. Orang merdeka (bukan budak)
7. Mampu, baik dalam hal biaya, kesehatan, keamanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggal berhaji

Rukun Haji


Rukun haji adalah perbuatan-perbuatan yang wajib dilakukan dalam berhaji. Rukun haji tsb adalah:

1. Ihram
2. Wukuf di Arafah
3. Tawaf ifâdah
4. Sa'i
5. Mencukur rambut di kepala atau memotongnya sebagian
6. Tertib

Rukun haji tsb harus dilakukan secara berurutan dan menyeluruh. Jika salah satu ditinggalkan, maka hajinya tidak sah.

Wajib Haji

1. Memulai ihram dari mîqât (batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan ibadah haji dan umrah)
2. Melontar jumrah
3. Mabît (menginap) di Mudzdalifah, Mekah
4. Mabît di Mina
5. Tawaf wada' (tawaf perpisahan)

Jika salah satu dari wajib haji ini ditinggalkan, maka hajinya tetap sah, namun harus membayar dam (denda).
Pelaksanaan Ibadah Haji (Manasik Haji)

Tata cara manasik haji adalah sebagai berikut:

1. Melakukan ihram dari mîqât yang telah ditentukan


Ihram dapat dimulai sejak awal bulan Syawal dengan melakukan mandi sunah, berwudhu, memakai pakaian ihram, dan berniat haji dengan mengucapkan Labbaik Allâhumma hajjan, yang artinya "aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk berhaji".
Kemudian berangkat menuju arafah dengan membaca talbiah untuk menyatakan niat:

Labbaik Allâhumma labbaik, labbaik lâ syarîka laka labbaik, inna al-hamda, wa ni'mata laka wa al-mulk, lâ syarîka laka

Artinya:

Aku datang ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu; Aku datang, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang; Sesungguhnya segala pujian, segala kenikmatan, dan seluruh kerajaan, adalah milik Engkau; tiada sekutu bagi-Mu.

2. Wukuf di Arafah

Dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, waktunya dimulai setelah matahari tergelincir sampai terbit fajar pada hari nahar (hari menyembelih kurban) tanggal 10 Zulhijah.
Saat wukuf, ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: shalat jamak taqdim dan qashar zuhur-ashar, berdoa, berzikir bersama, membaca Al-Qur'an, shalat jamak taqdim dan qashar maghrib-isya.

3. Mabît di Muzdalifah, Mekah

Waktunya sesaat setelah tengah malam sampai sebelum terbit fajar. Disini mengambil batu kerikil sejumlah 49 butir atau 70 butir untuk melempar jumrah di Mina, dan melakukan shalat subuh di awal waktu, dilanjutkan dengan berangkat menuju Mina. Kemudian berhenti sebentar di masy'ar al-harâm (monumen suci) atau Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah SWT (QS 2: 198), dan mengerjakan shalat subuh ketika fajar telah menyingsing.

4. Melontar jumrah 'aqabah

Dilakukan di bukit 'Aqabah, pada tanggal 10 Zulhijah, dengan 7 butir kerikil, kemudian menyembelih hewan kurban.

5. Tahalul

Tahalul adalah berlepas diri dari ihram haji setelah selesai mengerjakan amalan-amalan haji.
Tahalul awal, dilaksanakan setelah selesai melontar jumrah 'aqobah, dengan cara mencukur/memotong rambut sekurang-kurangnya 3 helai.
Setelah tahalul, boleh memakai pakaian biasa dan melakukan semua perbuatan yang dilarang selama ihram, kecuali berhubungan seks.

Bagi yang ingin melaksanakan tawaf ifâdah pada hari itu dapat langsung pergi ke Mekah untuk tawaf. Dengan membaca talbiah masuk ke Masjidil Haram melalui Bâbussalâm (pintu salam) dan melakukan tawaf. Selesai tawaf disunahkan mencium Hajar Aswad (batu hitam), lalu shalat sunah 2 rakaat di dekat makam Ibrahim, berdoa di Multazam, dan shalat sunah 2 rakaat di Hijr Ismail (semuanya ada di kompleks Masjidil Haram).

Kemudian melakukan sa'i antara bukit Shafa dan Marwa, dimulai dari Bukit Shafa dan berakhir di Bukit Marwa. Lalu dilanjutkan dengan tahalul kedua, yaitu mencukur/memotong rambut sekurang-kurangnya 3 helai.
Dengan demikian, seluruh perbuatan yang dilarang selama ihram telah dihapuskan, sehingga semuanya kembali halal untuk dilakukan.
Selanjutnya kembali ke Mina sebelum matahari terbenam untuk mabît di sana.

6. Mabît di Mina

Dilaksanakan pada hari tasyrik (hari yang diharamkan untuk berpuasa), yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah. Setiap siang pada hari-hari tasyrik itu melontar jumrah ûlâ, wustâ, dan 'aqabah, masing-masing 7 kali.

Bagi yang menghendaki nafar awwal (meninggalkan Mina tanggal 12 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah saja. Tetapi bagi yang menghendaki nafar sânî atau nafar akhir (meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan selama tiga hari (11, 12, dan 13 Zulhijah).
Dengan selesainya melontar jumrah maka selesailah seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji dan kembali ke Mekah.

7. Tawaf ifâdah


Bagi yang belum melaksanakan tawaf ifâdah ketika berada di Mekah, maka harus melakukan tawaf ifâdah dan sa'i. Lalu melakukan tawaf wada' sebelum meninggalkan Mekah untuk kembali pulang ke daerah asal.
Umrah

Umrah artinya berkunjung atau berziarah. Setiap orang yang melakukan ibadah haji wajib melakukan umrah, yaitu perbuatan ibadah yang merupakan kesatuan dari ibadah haji. Pelaksanaan umrah ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 196 yang artinya "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah..."

Mengenai hukum umrah, ada beberapa perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi'i hukumnya wajib. Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi hukumnya sunah mu'akkad (sunah yang dipentingkan).
Umrah diwajibkan bagi setiap muslim hanya 1 kali saja, tetapi banyak melakukan umrah juga disukai, terlebih jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya "Umrah di dalam bulan Ramadhan itu sama dengan melakukan haji sekali".
Pelaksanaan umrah

Tata cara pelaksanaan ibadah umrah adalah: mandi, berwudhu, memakai pakaian ihram di mîqât, shalat sunah ihram 2 rakaat, niat umrah dan membaca Labbaik Allâhumma 'umrat(an) (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, untuk umrah), membaca talbiah serta doa, memasuki Masjidil Haram, tawaf, sa'i, dan tahalul.

Syarat, Rukun, dan Wajib Umrah

Syarat untuk melakukan umrah adalah sama dengan syarat dalam melakukan ibadah haji. Adapun rukun umrah adalah:

1. Ihram
2. Tawaf
3. Sa'i
4. Mencukur rambut kepala atau memotongnya
5. Tertib, dilaksanakan secara berurutan

Sementara itu wajib umrah hanya satu, yaitu ihram dari mîqât.

Larangan dalam Haji dan Umrah

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sudah memakai pakaian ihram dan sudah berniat melakukan ibadah haji/umrah adalah:

1. Melakukan hubungan seksual atau apa pun yang dapat mengarah pada perbuatan hubungan seksual
2. Melakukan perbuatan tercela dan maksiat
3. Bertengkar dengan orang lain
4. Memakai pakaian yang berjahit (bagi laki-laki)
5. Memakai wangi-wangian
6. Memakai khuff (kaus kaki atau sepatu yang menutup mata kaki)
7. Melakukan akad nikah
8. Memotong kuku
9. Mencukur atau mencabut rambut
10. Memakai pakaian yang dicelup yang mempunyai bau harum
11. Membunuh binatang buruan
12. Memakan daging binatang buruan

Macam-macam Haji

1. Haji ifrâd


Haji ifrâd yaitu membedakan ibadah haji dengan umrah. Ibadah haji dan umrah masing-masing dikerjakan tersendiri. Pelaksanaannya, ibadah haji dilakukan terlebih dulu, setelah selesai baru melakukan umrah. Semuanya dilakukan masih dalam bulan haji.

Cara pelaksanaannya adalah:
a. ihram dari mîqât dengan niat untuk haji
b. ihram dari mîqât dengan niat untuk umrah

2. Haji tamattu'

Haji tamattu' adalah melakukan umrah terlebih dulu pada bulan haji, setelah selesai baru melakukan haji.
Orang yang melakukan haji tamattu' wajib membayar hadyu (denda), yaitu dengan menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari, yaitu 3 hari selagi masih berada di tanah suci, dan 7 hari setelah kembali di tanah air.

Cara pelaksanaannya adalah:
a. ihram dari mîqât dengan niat untuk umrah
b. melaksanakan haji setelah selesai melaksanakan semua amalan umrah

3. Haji qirân

Haji qirân adalah melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersama-sama. Dengan demikian segala amalan umrah sudah tercakup dalam amalan haji.

Cara pelaksanaannya adalah:
a. ihram dari mîqât dengan niat untuk haji dan umrah sekaligus
b. melakukan seluruh amalan haji

Amalan-Amalan Haji dan Umrah

1. Mîqât

Mîqât adalah batas waktu dan tempat melakukan ibadah haji dan umrah. Mîqât terdiri atas mîqât zamânî dan mîqât makânî.

Mîqât zamânî adalah kapan ibadah haji sudah boleh dilaksanakan.
Berdasarkan kesepakatan para ulama yang bersumber dari sunah Rasulullah SAW, mîqât zamânî jatuh pada bulan Syawal, Zulkaidah, sampai dengan tanggal 10 Zulhijah.

Mîqât makânî adalah dari tempat mana ibadah haji sudah boleh dilaksanakan.

Tempat-tempat untuk mîqât makânî adalah:

* Zulhulaifah atau Bir-Ali (450 km dari Mekah) bagi orang yang datang dari arah Madinah
* Al-Juhfah atau Rabiq (204 km dari Mekah) bagi orang yang datang dari arah Suriah, Mesir, dan wilayah-wilayah Maghrib
* Yalamlan (sebuah gunung yang letaknya 94 km di selatan Mekah) bagi orang yang datang dari arah Yaman
* Qarnul Manazir (94 km di timur Mekah) bagi orang yang datang dari arah Nejd
* Zatu Irqin (94 km sebelah timur Mekah) bagi orang yang datang dari arah Irak

2. Ihram

Ihram ialah niat melaksanakan ibadah haji atau umrah dan memakai pakaian ihram.
Bagi laki-laki, pakaian ihram adalah dua helai pakaian tak berjahit untuk menutup badan bagian atas dan sehelai lagi untuk menutup badan bagian bawah. Kepala tidak ditutup dan memakai alas kaki yang tidak menutup mata kaki.
Bagi wanita, pakaian ihram adalah kain berjahit yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah.

Sunah ihram adalah memotong kuku, kumis, rambut ketiak, rambut kemaluan, dan mandi. Kemudian melakukan shalat sunah ihram 2 rakaat (sebelum ihram), membaca talbiah, shalawat, dan istighfar (sesudah ihram dimulai).

3. Tawaf

Tawaf adalah mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dimulai dari arah yang sejajar dengan Hajar Aswad dan Ka'bah selalu ada di sebelah kiri (berputar berlawanan arah jarum jam).

Syarat tawaf adalah:

1. Suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis
2. Menutup aurat
3. Melakukan 7 kali putaran berturut-turut
4. Mulai dan mengakhiri tawaf di tempat yang sejajar dengan Hajar Aswad
5. Ka'bah selalu berada di sisi kiri
6. Bertawaf di luar Ka'bah

Sedangkan sunah tawaf adalah:


1. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf
2. Berjalan kaki
3. al-idtibâ, yaitu meletakkan pertengahan kain ihram di bawah ketiak tangan kanan dan kedua ujungnya di atas bahu kiri
4. Menyentuh Hajar Aswad atau memberi isyarat ketika mulai tawaf
5. Niat.
Niat untuk tawaf yang terkandung dalam ibadah haji hukumnya tidak wajib karena niatnya sudah terkandung dalam niat ihram haji, tetapi kalau tawaf itu bukan dalam ibadah haji, maka hukum niat tawaf menjadi wajib, seperti dalam tawaf wada' dan tawaf nazar.
6. Mencapai rukun yamanî (pada putaran ke-7) dan mencium atau menyentuh Hajar Aswad
7. Memperbanyak doa dan zikir selama dalam tawaf
8. Tertib, dilaksanakan secara berurutan

Macam-macam tawaf adalah:

Tawaf ifâdah
Tawaf sebagai rukun haji yang apabila ditinggalkan maka hajinya menjadi tidak sah.
Tawaf ziyârah
Tawaf kunjungan, sering juga disebut tawaf qudûm, yaitu tawaf yang dilakukan setibanya di kota Mekah.
Tawaf sunah
Tawaf yang dapat dilakukan kapan saja.
Tawaf wada'
Tawaf perpisahan, yaitu tawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan Mekah setelah selesai melakukan seluruh rangkaian ibadah haji.

4. Sa'i


Sa'i adalah berjalan dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa sebanyak 7 kali.

Syarat sa'i adalah:

1. Seluruh perjalanan sa'i dilakukan secara lengkap, tidak boleh ada jarak yang tersisa
2. Dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa
3. Dilakukan sesudah tawaf
4. Dilakukan sebanyak 7 kali perjalanan

Sedangkan sunah dalam sa'i adalah:

1. Berdoa di antara Shafa dan Marwa
2. Dalam keadaan suci dan menutup aurat
3. Berlari kecil antara 2 tonggak hijau
4. Tidak berdesakan
5. Berjalan kaki
6. Dikerjakan secara berturut-turut

5. Wukuf di Arafah

Wukud di Arafah adalah berdiam diri di padang Arafah sejak matahari tergelincir pada tanggal 9 Zulhijah sampai terbit fajar pada tanggal 10 Zulhijah (hari nahar), baik dalam keadaan suci maupun tidak suci.
Haji tanpa wukuf tidak sah dan harus diulang lagi pada tahun berikutnya. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

Haji itu 'arafah, siapa yang datang pada malam mabît di Muzdalifah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji.

Ketika melakukan wukuf, disunahkan untuk tidak berpuasa, menghadap kiblat, berzikir, membaca istighfar, dan berdoa. Menurut riwayat Imam Ahmad, doa Nabi SAW ketika di hari arafah adalah:

Tiada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya seluruh kerajaan, bagi-Nya pula segala pujian, di tangan-Nya segala kebaikan, dan Ia Maha Kuasa atas segalanya.

6. Melontar Jumrah

Melontar jumrah ialah melempar batu kerikil ke arah 3 buah tonggak, yaitu ûlâ, wustâ, dan ukhrâ, masing-masing 7 kali lemparan. Hari melontar jumrah dimulai pada tanggal 10 Zulhijah, ke arah jumrah 'aqabah atau jumrah kubra, dan 2 atau 3 hari dari hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah) ke arah 3 jumrah yang telah disebutkan di atas.

Waktu melontar jumrah disunahkan sesudah matahari terbit. Bagi orang yang lemah atau berhalangan boleh melakukannya pada malam hari.
Adapun melontar jumrah pada 3 hari yang lain, hendaknya dimulai pada waktu matahari sudah mulai turun ke barat sampai saat matahari terbenam.

Ketika melontar jumrah disunahkan:

1. Berdiri dengan posisi Mekah ada di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan
2. Mengangkat tangan tinggi-tinggi bagi laki-laki
3. Membaca takbir ketika melempar batu yang pertama

Bagi orang yang berhalangan menyelesaikan haji dengan tidak melakukan wukuf di Arafah, tawaf, ataupun sa'i, apa pun penyebabnya, menurut pendapat jumhur ulama orang tsb wajib menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta di tempat ia bertahalul.
Apabila ibadahnya itu ibadah wajib, ia harus meng-qadha pada tahun berikutnya, tetapi bila bukan ibadah wajib, ia tidak perlu meng-qadha.
Haji Akbar dan Haji Mabrur
Haji akbar (haji besar)

Istilah haji akbar disebut dalam firman Allah SWT pada surah At-Taubah: 3 yang artinya:

Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin...

Ada beberapa pendapat ulama tentang haji akbar, yaitu haji akbar adalah:

* haji pada hari wukuf di Arafah
* haji pada hari nahar
* haji yang wukufnya bertepatan dengan hari jum'at
* ibadah haji itu sendiri beserta wukufnya di Arafah

Namun pendapat yang paling masyhur adalah pendapat yang menyatakan bahwa haji akbar adalah haji yang wukufnya jatuh pada hari jum'at.

Ada haji besar, ada pula haji asgar (haji kecil) yang merupakan istilah lain untuk umrah.
Haji mabrur

Haji mabrur adalah ibadah haji seseorang yang seluruh rangkaian ibadah hajinya dapat dilaksanakan dengan benar, ikhlas, tidak dicampuri dosa, menggunakan biaya yang halal, dan yang terpenting, setelah ibadah haji menjadi orang yang lebih baik.

Balasan bagi orang yang mendapat haji mabrur adalah surga. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya:

Umrah ke satu ke umrah berikutnya adalah penebus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur ganjarannya tiada lain kecuali surga (HR Bukhari dan Muslim)

Dam (Denda)

Dam dalam bentuk darah adalah menyembelih binatang sebagai karafat (tebusan) terhadap beberapa pelanggaran yang dilakukan ketika melakukan ibadah haji atau umrah. Jenis dam adalah:

1. Dam tartîb
2. Dam takhyîr dan taqdîr
3. Dam tartîb dan ta'dîl
4. Dam takhyîr dan ta'dîl

1. Dam tartîb

Dam tartîb yaitu bila binatang yang disembelih adalah kambing, tetapi bila tidak mendapat kambing, harus melaksanakan puasa 3 hari di tanah suci dan 7 hari apabila telah pulang ke kampung halaman.
Orang diwajibkan membayar dam tartîb karena 9 hal, yaitu:

1. Mengerjakan haji tammatu'
2. Mengerjakan haji qirân
3. Tidak wukuf di Arafah
4. Tidak melontar jumrah yang ke-3
5. Tidak mabît di Muzdalifah pada malam nahar
6. Tidak mabît di Mina pada malam hari tasyrik
7. Tidak berihram dari mîqât
8. Tidak melakukan tawaf wada'
9. Tidak berjalan kaki bagi yang bernazar untuk mengerjakan haji dengan berjalan kaki

2. Dam takhyîr dan taqdîr

Dam takhyîr dan taqdîr ialah boleh memilih menyembelih seekor kambing, berpuasa, atau bersedekah memberi makan kepada 6 orang miskin sebanyak 3 sa' (1 sa' = 3,1 liter).
Dam jenis ini dikenakan untuk satu diantara sebab-sebab berikut:

1. Mencabut 3 helai rambut atau lebih secara berturut-turut
2. Memotong 3 kuku atau lebih
3. Berpakaian yang berjahit
4. Menutup kepala
5. Memakai wewangian
6. Melakukan perbuatan yang menjadi pengantar bagi perbuatan seksual
7. Melakukan hubungan seksual antara tahalul pertama dan tahalul kedua.

3. Dam tartîb dan ta'dîl

Dam tartîb dan ta'dîl adalah pertama kali wajib menyembelih unta, apabila tidak mampu boleh menyembelih sapi, apabila tidak mampu juga baru menyembelih kambing 7 ekor.
Apabila tidak mendapat 7 ekor kambing, si pelanggar harus membeli makanan seharga itu dan disedekahkan kepada fakir miskin di tanah suci.
Dam jenis ini dikenakan karena pelanggaran melakukan hubungan seksual.
4. Dam takhyîr dan ta'dîl

Dam takhyîr dan ta'dîl adalah boleh memilih diantara 3 hal yaitu:

* Menyembelih binatang buruan yang diburu
* Membeli makanan seharga binatang buruan tsb dan disedekahkan
* Berpuasa satu hari untuk setiap 1 mud (5/6 liter)

Dam jenis ini dikenakan karena sebab-sebab:

1. Merusak, memburu, atau membunuh binatang buruan
2. Memotong pohon-pohon atau mencabut rerumputan di tanah haram.

Waktu dan tempat penyembelihan dam

Waktu penyembelihan dam yang disebabkan pelanggaran yang tidak sampai membatalkan atau kehilangan haji harus dilakukan pada waktu si pelanggar melakukan ibadah haji. Tetapi bagi dam yang disebabkan pelanggaran yang berakibat kehilangan haji, pelaksanaannya wajib ditunda sampai pada waktu melakukan ihram ketika meng-qadha haji.

Sedangkan tempat penyembelihan dam dan penyaluran dagingnya adalah di tanah haram.
Bagi orang yang melakukan haji, diutamakan menyembelihnya di Mina, sedangkan bagi orang yang melakukan umrah, menyembelihnya di Marwa.
Mewakilkan Haji

Perwakilan haji berlaku untuk seseorang yang mampu melakukan haji dari segi biaya, tapi kesehatannya tidak memungkinkan, seperti sakit yang parah atau karena usia tua.
Dalam hal ini wajib orang lain untuk menghajikannya dengan biaya dari orang yang bersangkutan, dengan syarat orang yang menggantikan tsb sudah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.
Tetapi bila setelah dihajikan orang itu sembuh, menurut Imam Syafi'i, ia tetap wajib melakukan haji.

Perwakilan haji juga dapat dilakukan atas orang yang sudah meninggal, asalkan orang tsb berkewajiban haji, antara lain mempunyai nazar dan belum dapat melaksanakannya. Hal ini didasarkan pada hadist yang meriwayatkan bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi SAW:

"Ayah saya sudah meninggal dan ia mempunya kewajiban haji, apakah aku harus menghajikannya?" Nabi SAW menjawab, "Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu meninggalkan hutang, apakah engkau wajib membayarnya?" Orang itu menjawab, "Ya". Nabi SAW berkata, "Berhajilah engkau untuk ayahmu".(HR. Ibnu Abbas RA)

Syarat Dan Rukun Shalat


Alhamdulillah masih bisa diberikan kesempatan untuk menyampaikan informasi seputar tuntunan sholat, sekarang ini Saya akan memberikan informasi yang berkaitan dengan Rukun Dan Yang Membatalkan Shalat, jika anda seorang muslim tentunya wajib mengerjakan sholat bukan?.namun untuk mengerjakan sholat harus diperhatikan apa saja yang menjadi rukun sholat dan hal apa yang membatalkan sholat, untuk informasinya admin sudah merangkumnya di antaranya yang ada berikut ini

Syarat Shalat

  1. Beragama Islam
  2. Sudah baligh dan berakal
  3. Suci dari hadist
  4. Suci seuruh anggota badan,pakain dan tempat
  5. Menutup aurat,laki laki auratnya antara pusar dan lutut,sedang wanita seluruh anggota badannya kecuali muka dan dua belah tapak tangan
  6. Masuk waktu yang telah di tentukan untuk masing masing shalat
  7. Mengetahui mana yang rukun dan mana yang sunnah
  8. Menghadap kiblat


Rukun Shalat

  1. Niat
  2. Takbiratul ikhram
  3. Berdiri tegak yang berkuasa pada shalat fardhu,boleh sambil duduk atau berbaring bagi yang sedang sakit
  4. Membaca surat Al-Fatihah pada tiap tiap raka’at
  5. Rukuk dengan tumakninah
  6. I’tidal dengan tumakninah
  7. Sujud dua kali dengan tumakninah
  8. Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
  9. Duduk tasyahud akhir dengan tumakninah
  10. Membaca tasyahud akhir
  11. Membaca shalawat nabi pada tasyahd akhir
  12. Membaca saam yang pertama
  13. Tertib berurutan mngerjakan rukun rukun tersebut

Mungkin cukup dari kami pembahasan tentang informasinya Syarat Dan Rukun Shalat,mudah mudahan pembahasan informasi ini bisa menambah wawasan anda tentang ajaran ajaran atau ketentuan ketentuan islam sebelum mengerjakan sholat,dan semoga kita termasuk orang orang yang selalu di lindungi oleh Allah SWT

Pengertian Ibadah


Ibadah secara bahasa berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedang menurut istilah terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang ibadah. Dan diantara definisi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim :

الْعِبـَادَةُ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِـبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَقْـوَالِ وَالأَعْماَلِ الظَّاهِرَةِ وَاْلبَاطِنَةِ . 
 
Ibadah ialah sebuah nama yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhoi Allah baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzohir maupun batin.

Macam-macam Ibadah

Dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa :
Pertama: Suatu ibadah itu harus melahirkan kecintaan dan keridhoan Allah SWT.
Kedua: Ibadah itu terbagi menjadi dua macam yaitu; ibadah qolbiyyah dan ibadah jasadiyyah atau fisik. Dan pembagian ini adalah dengan melihat sumber munculnya suatu aktifitas ibadah. Walaupun tentu ada lagi pembagian lain dari macam ibadah, tapi inilah yang menjadi perhatian dalam pembahasan kita.

Pertama: Ibadah Qolbiyyah atau Bathiniyyah.
Yaitu segala bentuk ibadah yang merupakan pekerjaan hati; seperti: Iman, Cinta, Takut, Berharap, Sadar kembali kepada Allah dan Tawakal.

a. Iman
Yaitu dalam pengertian pembenaran hati akan adanya Allah SWT, Rububiyyah dan Uluhiyyah-Nya termasuk membenarkan apa yang dituntut oleh Allah SWT untuk diimani seperti: beriman kepada Malaikat, kitab suci, para Nabi, Hari Akhir dan masalah Qodho dan Qodar seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Surat An Nissa Ayat 136. Dan barang siapa memberikan keimanan selain kepada selain Allah atau diluar apa yang telah diperintahkan oleh-Nya. Maka Ia telah kufur dan berbuat syirik

b. Cinta
Yaitu mencintai Allah SWT dan mencintai siapa dan apa yang dicintai oleh Allah SWT dari hamba-Nya baik berupa keyakinan, ucapan dan perbuatan. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan diantara manusia ada orang yang menyembah sekutu selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” (QS: Al Baqoroh: 165)

c. Rasa Takut.
Allah Berfirman:
Artinya: “Janganlah Kalian takut kepada manusia tapi takutlah kepada Ku”. (QS: Al Maidah :44)


Allah Berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka yang Ghaib bagi mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS: Al Mulk : 12).

d. Berharap dan Berkeinginan

Berharap (Roja’) adalah sikap berharap dan bercita-cita untuk meraih kebaikan yang mungkin terjadi dari Dzat yang memiliki dan berkuasa untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya. Sedangkan Berkeinginan (Roghbah) adalah sikap menyukai dan menyenangi kebaikan disertai kemauan yang kuat untuk mendapatkannya dari Dzat yang memiliki dan mampu memberikannya.

Firman Allah SWT:
Artinya: “Barang siapa mengharap berjumpa dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal sholeh dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS: Al Kahfi: 110).


Allah Berfirman :
Artinya: “Maka Apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh sungguh (Urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (QS: Asy Syarh:7-8).


e. Sadar Kembali kepada Allah SWT.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian dan berserah dirilah kepada-Nya”.(QS: Az Zumar: 54).


f. Tawakal
Allah Berfirman:
Artinya: “Dan Hanya kepada Allah lah kalian bertawakal jika kalian beriman”.
(QS: Al Maidah : 23).

Allah Berfirman:
Artinya: “ Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, Cukuplah Allah baginya”. (QS: At Tholaq: 3)


Kedua: Ibadah Jasadiyah ( Fisik ).
Yaitu ibadah yang dilakukan oleh anggota badan, Seperti: berdo’a, Istihotsah, Isti’anah, Nadzar, Menyembelih Qurban, Ruku’ dan Sujud, Thowaf di Baitullah, Mencium hajar Ashwad, Tidak taat kepada Allah karena takut dan berharap kepada selain Allah dan bersumpah.

a. Berdo’a
Allah Berfirman:
Artinya: “Dan masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdo’a kepada sekutu selain Allah”. (QS: Al Jin: 18)

b. Istighotsah
Yaitu memohon bantuan dan pertolongan pada saat darurat untuk membebaskan jiwa dari bahaya.


c. Isti’anah
Allah berfirman:
Artinya: “Hanya kepada Allah lah kami menyembah dan hanya kepada Allah lah kami memohon pertolongan”. (QS: Al Fatihah: 5)
Rasulullah SAW berwasiat kepada Ibnu Abbas ra.: “ Bila kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan bila kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah” (HR: At Tirmidzi).

Berdo’a, Istighotsah dan Isti’anah adalah merupakan permohonan yang hanya dipanjatkan seorang hamba kepada Kholiqnya. Dan apabila ditujukan kepada selain Allah maka itu termasuk perbuatan syirik.

d. Nadzar
Allah Berfirman:
Artinya : “Dan apa saja yang kalian nafkahkan atau kalian nadzarkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS: Al Baqoroh: 270).

e. Menyembelih Qurban
Allah berfirman:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain nama Allah…” (QS: Al Maidah: 3)

f. Ruku’ dan Sujud
Allah Berfirman:
Artinya: “Hai orang yang beriman Ruku’ lah sujudlah dan sembahlah Tuhan kalian dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS: Al Hajj: 77)


g. Thowaf di Baitullah, mencium hajar ashwad dan semua bentuk ibadah yang hanya ditujukan untuk Allah SWT.
Allah Berfirman:
Artinya: “Tidaklah mereka diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas melaksanakan agamanya”. (QS: Al Baiyyinah: 5).

h. Tidak Taat Kepada Allah karena rasa takut atau mengharap sesuatu kepada selain Allah
Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan jangan membatalkan amal-amal kalian”. (QS: Muhammad: 33).

i. Bersumpah
Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْـرَكَ وَفِيْ لَفْظٍ : فَقَدْ كَفَرَ

Artinya: “Barang siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah maka sungguh ia telah berbuat syirik” dalam lapadz lain: “Sungguh telah kufur” (HR: At Tirmidzi)

Tujuan Pernikahan Dalam Islam


1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.

a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.

Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13]

Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.” [2]

Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.

Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.

Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur : 26]

b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.

Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]

Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.

“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.

“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]

Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :

1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.

Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.

Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.

“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8]

5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]

Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]

Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]

Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.

Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam

Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam


Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad.

Hak Bersama Suami Istri
  1. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
  2. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
  3. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
  4. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

Adab Suami Kepada Istri .
  1. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)
  2. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
  3. Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
  4. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
  5. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
  6. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
  7. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
  8. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
  9. Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
  10. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
  11. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
  12. Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
  13. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
  14. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
  15. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
  16. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
  17. Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
  18. Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Isteri Kepada Suami

  • Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
  • Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
  • Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
  • Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
  1. Menyerahkan dirinya,
  2. Mentaati suami,
  3. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
  4. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
  5. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
  • Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
  • Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)
  • Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
  • Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
  • Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
  • Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
  • Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
  • Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
  • Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
  • Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
  • Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Pengertian TALAQ, FASAKH, KHULU', TA'LIQ, LI'AN, ILA' & ZIHAR


TERDAPAT BEBERAPA CARA UNTUK MEMBUBARKAN PERKAHWINAN

1. Talaq
2. Fasakh
3. Khulu [Tebus Talaq]
4. Takliq
5. Lian
6. Ila’
7. Zihar

Meskipun pembubaran perkahwinan dibenarkan, termasuk peruntukan khulu’, fasakh dan ta’liq yang diberikan kepada wanita namun usaha-usaha hendaklah dibuat untuk menyelamatkan sesuatu perkahwinan itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT yang bermaksud: “... dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami isteri) maka lantiklah orang tengah (hakam) iaitu Seorang dari keluarga lelaki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika kedua-dua orang tengah itu bertujuan hendak mendamaikan nescaya Allah akan menjadikan kedua-duanya itu berpakat baik.” (an-Nisa’: 35)

Sesungguhnya di antara lelaki dan wanita itu terdapat perbezaan dalam membuat sesuatu keputusan di mana kebiasaannya wanita itu lebih mudah tunduk pada perasaan, apalagi jika sedang berada di saat-saat genting di mana persoalan perceraian sebenarnya memerlukan kepada pemikiran yang rasional.

Sabda rasulullah SAW yang bermaksud: “Mana-mana isteri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka haram kepadanya bau syurga.” (Ahmad dan at-Tirmizi)

Manakala pihak lelaki pula tidak boleh terburu-buru menggunakan kuasa yang ada (untuk menceraikan) dan mesti berfikiran tenang terutama dalam mempertimbangkan kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap keluarga.

Firman Allah SWT yang maksudnya: ‘...dan bergaullah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkahlakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedangkan Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu)” (an-Nisaa’: 19).


TALAQ


PENGERTIAN TALAQ

Talaq dari segi bahasa berertimelepaskan ikatan. Dari segi syara‘ ialah melepaskan ikatan perkahwinan dengan menggunakan lafaz talaq atau seumpamanya.

Talaq : Perceraian yang dilakukan oleh suami dengan lafaz talak satu, dua atau tiga sama ada secara nyata atau kiasan.

Maka sesudah berlaku talak tiga, rujuk atau kahwin semula tidak boleh dilakukan lagi antara suami isteri tersebut. Perkahwinan semula antara keduanya hanya dibenarkan jika isteri yang diceraikan itu telah berkahwin dengan lelaki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya yang kedua dan selepas suami yang kedua itu dengan kerelaan sendiri menceraikan isterinya itu.

Ini merujuk kepada firman Allah SWT yang bermaksud: “Sesudah (diceraikan dua kali) itu, jika diceraikan pula (bagi kali yang ketiga) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia berkahwin dengan suami yang lain. Setelah itu jika ia diceraikan (oleh Suami yang baru dan habis ‘iddahnya) maka mereka berdua (bekas suami dan bekas isteri) tidaklah berdosa untuk kembali (berkahwin semula) jika mereka benar-benar yakin dapat menegakkan aturan hukum Allah. Dan itulah aturan-aturan hukum Allah, diterangkan kepada kaum yang (mahu) mengetahui dan memahaminya.” (al-Baqarah: 230).

DALIL HARUS TALAQ

Firman Allah subhanahu wata‘ala, Maksudnya: “Cerai (talaq) itu dua kali, selepas itu peganglah isteri kamu (ruju‘ dan kekallah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anh yang bermaksud: “Rasulullah SAW telah menceraikan isterinya Hafsah kemudian Baginda meruju`nya semula.” (Riwayat Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)


RUKUN DAN SYARAT TALAQ

1. Suami. Syarat-syarat suami ialah:


Mestilah seorang lelaki itu telah menjadi suami melalui perkahwinan yang sah, tidak jatuh talaq jika belum berkahwin atau setelah bercerai dan habis ‘iddah.
Hendaklah dalam keadaan sedar, tidak jatuh talaq jika sekiranya gila, pengsan, mengigau dan pitam kecuali mabuk yang disebabkan meminum minuman keras dengan sengaja.
Baligh.
Dengan rela hati dan tidak dipaksa, tidak jatuh talaq jika diugut menceraikan isteri.

2. Isteri. Syarat-syarat isteri:

Perempuan yang diceraikan hendaklah menjadi isteri yang sah semasa diceraikan.
Talaq akan bertambah lagi jika suami mentalaqkan isteri yang di dalam ‘iddah perceraian talaq satu.

3. Sighah (lafaz). Sighah talaq terbahagi kepada dua:

Lafaz sarih (terang), iaitu yang diucapkan dengan terang dan jelas. Lafaz sarih ini terbahagi kepada tiga ucapan seperti berkata: “Aku ceraikan engkau talaq satu”, “Aku lepaskan kau” dan “Aku talaqkan kau”. Talaq dengan lafaz yang seperti ini akan jatuh talaqnya walaupun tanpa niat.
Lafaz kinayah (lafaz kiasan), iaitu cerai yang dilafazkan menggunakan bahasa sindiran seperti berkata: “Engkau haram atas diriku” atau “Pergilah balik ke rumah emak bapak kamu”. Lafaz kinayah ini akan jatuh talaq jika suami berniat menceraikan isterinya.

4. Qasad (niat).


HUKUM TALAQ

Hukum menjatuhkan talaq pada asalnya diharuskan dalam Islam, tetapi ia akan berubah menjadi:


Wajib: Setelah rumahtangga itu gagal diperbaiki dengan keputusan hakim atau suami telah bersumpah untuk menceraikan isterinya.
Haram: Menceraikan isteri semasa isteri di dalam waktu haidh atau ketika suci tetapi baru disetubuhi.
Sunat: Jika suami tidak dapat menyempurnakan nafkah batin.
Makruh: Boleh menjadi haram jika menceraikan isteri tanpa sebab yang munasabah.

Islam menetapkan hanya suami sahaja yang mempunyai kuasa untuk menjatuhkan talaq. Walaubagaimanapun, isteri juga diberikan hak untuk memohon cerai dengan cara fasakh atau khulu‘ (tebus talaq).


PEMBAHAGIAN TALAQ

Talaq terbahagi kepada dua jenis iaitu:

Talaq Raj‘i, iaitu talaq yang boleh diruju‘ kembali tanpa perlu akad nikah iaitu ketika isteri dalam waktu ‘iddah (sebelum tiga kali suci daripada haidh).
Talaq Ba’in, ia terbahagi kepada dua:

Ba’in sughra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ oleh suami kecuali diadakan akad nikah semula iaitu perceraian sama ada melalui fasakh, khulu‘ atau talaq isteri yang belum disetubuhi.
Ba’in kubra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ kembali dengan cara biasa melainkan setelah syarat berikut dipenuhi:

Setelah selesai ‘iddah si isteri.
Bekas isteri berkahwin dengan suami lain.
Suami lain menyetubuhi bekas isteri itu dan berlaku perceraian.
Selesai ‘iddah dari suami yang lain itu.

FASAKH

PENGERTIAN FASAKH

Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan.

SEBAB FASAKH

Antara sebab yang boleh menyebabkan berlakunya fasakh yang menghalang perkahwinan tersebut diteruskan seperti

1. Sebab yang merosakkan akad.

Perkahwinan antara muhrim, sama ada sebab keturunan, susuan atau persemendaan.
Isteri orang, atau isteri yang dalam tempoh ‘iddah talaq suami pertamanya.
Pernikahan yang dilakukan semasa belum baligh (kecil) dan apabila baligh minta difasakhkan akad itu.
Wali fasiq atau
Saksi fasiq (akad tidak sah sejak diadakan),
Murtad salah seorang daripada keduanya (akad terbatal)

2. Sebab yang mendatang selepas pernikahan.

Salah seorang daripada suami atau isteri itu murtad
Pasangan suami isteri bukan Islam semasa bernikah dan salah seorang memeluk Islam.
Akad Nikah sah tetapi difasakhkan oleh qadhi atas tuntutan isteri sama ada kerana suami berpenyakit (dalam kes ini perkahwinan tidak boleh dibubarkan selagi tidak dibicarakan dan diputuskan oleh qadhi atau hakim Mahkamah Syariah), 

Tidak kufu’,
Suami tidak mampu membayar mahar (pemberian wajib daripada suami kepada isteri) atau
Suami tak mampu beri nafkah (mengeluarkan belanja kepada mereka yang berada di dalam tanggungan) atau 

Berlaku kesukaran di pihak isteri kerana suami hilang, suami dipenjara, suami menyakiti isteri secara keterlaluan (penderaan fizikal dan mental) atau sebagainya.
Suami telah melakukan salah satu perkara yang diharamkan sebab persemendaan seperti berzina dengan ibu mertua 

Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam [Negeri Melaka 2002, Seksyen 53] menambah lagi sebab-sebab yang menyebabkan berlakunya fasakh seperti di bawah ini:

Tempat di mana beradanya suami telah tidak diketahui selama tempoh lebih dari setahun.
Suami cuai atau telah tidak mengadakan peruntukan nafkah bagi nafkahnya selama tempoh tiga bulan.
Suami telah dihukum penjara selama tempoh tiga tahun atau lebih.
Suami telah tidak menunaikan tanpa sebab yang munasabah nafkah batin selama tempoh satu tahun.
Suami mati pucuk pada masa perkahwinan dan masih lagi sedemikian dan isteri tidak tahu pada masa perkahwinan bahawa suami mati pucuk.

Suami telah gila selama tempoh dua tahun, sedang mengidap penyakit kusta atau sedang mengidap penyakit kelamin yang boleh berjangkit.

Isteri telah dikahwinkan oleh bapa atau datuknya sebelum dia mencapai umur enam belas (16) tahun, menolak perkahwinan itu sebelum mencapai umur lapan belas (18) tahun dan dia belum disetubuhi oleh suaminya itu.

Walaupun empat bulan berlalu perkahwinan itu belum disatukan kerana suami atau isteri bersengaja enggan bersetubuh.

Isteri tidak izin akan perkahwinan itu atau izinnya tidak sah sama ada dengan sebab paksaan, kesilapan, ketidak sempurnaan akal atau lain-lain hal yang diakui oleh hukum syara‘.

Suami atau isteri menganiayai isteri atau suaminya, iaitu antaranya:

1. Lazim menyakiti atau menjadikan kehidupannya menderita disebabkan kelakuan aniaya.
2. Berkawan dengan perempuan-perempuan atau lelaki yang berperangai jahat atau hidup keji mengikut pandangan hukum syara‘.
3. Cuba memaksa isteri hidup secara lucah.
4. Melupuskan harta isteri atau suami atau melarang isteri atau suami itu daripada menggunakan hak-haknya di sisi undang-undang terhadap harta itu.
5. Menghalang isteri atau suami daripada menunaikan atau menjalankan kewajipan atau amalan agamanya.
6. Jika suami mempunyai isteri lebih daripada seorang, dia tidak melayani isterinya secara adil mengikut kehendak-kehendak hukum syara‘.


HIKMAH FASAKH


Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka teraniaya.

Menyedarkan kaum suami bahawa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak oleh suami sahaja.
Menunjukkan keunggulan syari‘at Allah subhanahu wata‘ala yang Maha Mengetahui akan keperluan hambaNya.


KHULU’ (Tebus Talaq)

PENGERTIAN KHULU‘

Khulu‘ dari segi bahasa bererti melepas atau menanggalkan. Manakala dari segi syara‘ pula ialah perceraian daripada suami ke atas isteri dengan tebusan yang diterima oleh suami.


Contohnya suami berkata “Aku talaqkan kamu dengan bayaran sekian banyak” atau isteri berkata: “Aku menebus talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian banyak”.

Khulu’ : Ia juga dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran perkahwinan yang diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada suaminya dengan sesuatu benda yang berharga di mana kadar benda tersebut adalah berdasarkan persetujuan antara suami dan isteri berkenaan atau berdasarkan kepada keputusan qadhi. Ini dikira sebagai ganti rugi-kepada suami berkenaan.

Hal ini adalah berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadis Rasulullah SAW yang bermaksud: Dari Ibnu Abbas RA bahawa isteri Thabit bin Qais telah datang berjumpa Rasulullah SAW lantas berkata “wahai Rasulullah, saya hendak meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian terhadapnya tentang perangainya dan keagamaannya tetapi saya bencikan sifat kekufuran yang ada padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda Rasulullah SAW “Adakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu sebagai mas kahwin?” Jawabnya: “Ya saya bersedia.” Lalu baginda menyuruh Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (Bukhari dan an-Nasa’i)

Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri) takut tidak dapat menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengenai bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturanperaturan hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya; dan sesiapa yang melanggar peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)

Secara umumnya apa sahaja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh dijadikan bayaran khulu’. Iaitu setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat dan ditentukan secara pasti tentang benda dan faedah yang hendak digunakan sebagai bayaran khulu’ tersebut.

Nafkah yang wajib ke atas suami kepada isterinya atau nafkah anak kecil yang berada di bawah jagaan ibu atau bayaran susuan dan jagaan anak dengan ditentukan jangka waktunya juga boleh dijadikan bayaran khulu’ dari isteri. Dengan ini nafkah yang wajib dibayar oleh suami tidak perlu lagi dibayar dan ia ditanggung sendiri oleh isteri.

Di antara kesan khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami juga tidak boleh berkahwin dengan bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas kahwin yang baru.

Iddah bagi isteri yang dikhulu’ adalah sekali haidh dan pembubaran menerusi khulu’ ini boleh dilakukan pada bila-bila masa iaitu waktu suci atau waktu isteri sedang haidh.

Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak isteri sendiri dan alasan yang boleh diterima oleh syarak. Namun dalam hal ini mana-mana suami adalah dilarang menggunakan kesempatan untuk bertindak menimbulkan kesukaran kepada isterinya bagi mendapat khulu’ daripadanya kerana dalam kes begini ahli feqah berpendapat khulu’ adalah batal dan bayaran tebus talaq dipulangkan kepada si isteri semula.

DALIL PENSYARI‘ATAN KHULU‘

Firman Allah subhanahu wata‘ala, maksudnya: “Talaq (yang boleh diruju‘ kembali) hanya dua kali. Sesudah itu peganglah (ruju‘) atau lepaskan (cerai) dengan cara yang baik. Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri yang kamu ceraikan) kecuali jika keduanya takut tidak dapat menegakkan peraturan-peraturan hukum Allah. Oleh itu, kalau kedua-kedua kamu khuatir maka tidaklah berdosa tentang bayaran balik (tebus talaq) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)

SYARAT SAH KHULU‘
Suami: Baligh, berakal, mukhtar (bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.
Isteri: Hendaklah seorang yang boleh menguruskan harta dan mukallaf.
Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut dengan terang.
Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan dengan jumlah yang tertentu.

Peringatan:
Walaupun isteri mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi Rasulullah SAW menuntut agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya.

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Mana-mana perempuan yang memohon cerai daripada suaminya tanpa sebab yang munasabah maka haram ke atasnya bau syurga. (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)


TA’LIQ

PENGERTIAN TA‘LIQ


Ta‘liq ialah lafaz yang diucapkan sebagai syarat untuk membatalkan pernikahan jika berlakunya sesuatu yang bertentangan dengan ta‘liq tersebut.

Ta’liq : iaitu menggantungkan perceraian kepada sesuatu masa atau sesuatu perbuatan seperti kata suami kepada isterinya: “Sekiranya kau pergi ke tempat tertentu maka kau tertalaq.”

Perceraian tidak berlaku semasa suami melafazkan ta’liq tetapi hanya berlaku sekiranya syarat yang disebut dalam lafaz ta’liq tersebut dilanggar.

Di Malaysia cerai ta’liq ini adalah suatu bentuk perceraian yang biasa diamalkan. Selepas akad nikah seseorang suami dikehendaki melafazkan ucapan ta’liq dan menandatangani surat ta’liq di hadapan juru nikah.

Contohnya seperti di Wilayah Persekutuan, lafaz ta’liq tersebut adalah:

“Bahawa adalah saya mengaku apabila tinggalkan isteri saya (nama) selama empat bulan Hijrah berturut-turut atau lebih dengan sengaja atau paksaan dan saya atau wakil saya tidak memberi nafkah kepadanya selama masa yang tersebut pada hal atau saya melakukan sebarang mudharat kepada tubuh badannya kemudian ia mengadu kepada Mahkamah Syariah dan memberi kepada Mahkamah Syariah yang menerima bagi pihak saya satu ringgit maka pada ketika itu tertalak ia dengan cara talak khulu”
[Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984, Kaedah-kaedah Keluarga Islam (borang dan Fee) 1985 (seksyen 134(3)]

SYARAT TA‘LIQ

Suami - Hendaklah mempunyai keahlian menjatuhkan cerai dengan melafazkan kata-kata ta‘liq.
Belum berlaku - Hendaklah ta‘liq ke atas perkara yang belum berlaku atas perkara yang mungkin berlaku.
Isteri - Hendaklah menjadi ahli cerai (masih menjadi isteri yang sah).

Contohnya suami berkata kepada isteri: “Jika engkau keluar dari rumah ini sepanjang ketiadaan aku, jatuhlah talaq engkau” atau “Apabila engkau pergi ke rumah si anu, jatuhlah talaq” atau “Manakala engkau pergi ke sana tanpa izinku jatuh talaq” atau sebagainya.

Apabila berlakunya perkara yang bertentangan dengan syarat yang dilafazkan, maka terjatuhlah talaq menurut hukum syara‘.

PERUNTUKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI TA‘LIQ


Berdasarkan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Melaka) 2002, Seksyen 50, seseorang perempuan yang bersuami boleh jika berhak memohon penceraian menurut syarat-syarat ta‘liq yang dibuat selepas akad nikah. Kandungan lafaz ta‘liq tersebut :

Meninggalkan isteri selama empat bulan berturut-turut.
Tidak memberi nafkah yang wajib selama empat bulan berturut-turut.
Menyakiti tubuh badan isteri.
Suami tidak mempedulikan isteri selama tempoh empat bulan berturut- turut.


LI’AN

PENGERTIAN LI‘AN


Li‘an berlaku apabila terjadinya qazaf iaitu suami menuduh isterinya berlaku zina atau menafikan anak yang dikandungkan oleh isterinya sebagai anak.

Li‘an ialah sumpah seorang suami apabila dia menuduh isterinya berzina tanpa mempunyai empat orang saksi kecuali dirinya sahaja, maka hendaklah dia bersumpah empat kali “bahawa dia adalah orang yang benar” dan pada kali kelimanya “bahawa dia akan dilaknati Allah jika dia berdusta”.

Sekiranya isteri menolak tuduhan tersebut, maka hendaklah dia bersumpah sebanyak empat kali “bahawa suaminya itu berdusta” dan pada kali kelimanya “bahawa dia akan dilaknati Allah jika suaminya benar”.

Li’an : Ianya berlaku apabila seseorang suami bersumpah menuduh isterinya melakukan zina dan isterinya juga bersumpah menafikan tuduhan suaminya itu.

Firman Allah subhanahu wata‘ala: “Adapun orang yang menuduh isterinya berzina sedangkan mereka tidak ada saksi (empat orang) kecuali hanya dirinya sahaja maka persaksian bagi orang yang menuduh itu hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sesungguhnya dia adalah orang yang benar. Dan sumpahan yang kelima bahawa laknat Allah akan menimpanya jika dia berdusta. Dan untuk menghindarkan seksa terhadap isteri yang tertuduh itu hendaklah si isteri bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sumpahan yang kelima hendaklah dia berkata kemungkaran Allah akan menimpa dirinya.” (Surah An-Nur, 24:6-9)

KESAN LI‘AN


Berdasarkan Seksyen 51 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Melaka) 2002 menegaskan bahawa: “Jika pihak-pihak kepada sesuatu perkahwinan telah mengangkat sumpah dengan cara li‘an mengikut hukum syara‘ di hadapan seorang hakim syar‘i, atas penghakiman, maka hakim syar‘i itu hendaklah memerintahkan mereka difaraqkan dan dipisahkan dan hidup berasingan selama-lamanya.”

Mengikut peruntukan hukum syara‘, sekiranya yang menuduh (suami) enggan bersumpah, maka dia akan dikenakan hukuman qazaf dengan sebatan sebanyak 80 kali rotan. Manakala jika isteri yang dituduh pula tidak menolak tuduhan suaminya, maka dia akan dikenakan hukuman sebagaimana orang yang berzina kecuali kedua-dua mereka bersumpah dan melakukan li‘an.

Apabila kedua-duanya bersumpah dan melakukan li‘an, maka ikatan perkahwinan mereka suami isteri akan terputus sama sekali dan mereka diharamkan berkahwin semula buat selama-lamanya.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahawa Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: “Suami isteri yang melakukan li‘an apabila mereka berdua berpisah, kedua-dua mereka tidak boleh berkumpul (berkahwin) untuk selama-lamanya.(Riwayat Daruqutni)


ILA’


Iaitu apabila seseorang suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan menyebut sifat Allah SWT untuk tidak bersetubuh dengan isterinya selama empat bulan atau lebih atau dengan tidak menyebut tempoh masa. Tujuannya untuk bagi isteri merana dan susah. Perbuatan ini haram kerana menyeksa jiwa manusia.

Firman Allah SWT yang maksudnya: “Kepada orang-orang yang bersumpah tidak akan mencampuri isteri mereka, diberikan tempoh untuk empat bulan. Setelah itu jika mereka kembali (mencampurinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani. Dan jika mereka berazam hendak menjatuhkan talaq (menceraikan isteri), maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)

Saidina Ali radiyaLlahu 'anhu berkata : Apabila seorang lelaki melakukan ila' terhadap isterinya, talaknya tidak jatuh walaupun telah berlalunya empat bulan selagi si suami belum memutuskan samada menceraikan isterinya atau dia menarik balik sumpahnya (iaitu dengan rujuk kepada isterinya dan menyelesaikan kafarahnya) (Riwayat Malik rahimahuLlah dalam al Muwatta' dalam kitab talak, bab ila' nombor 2/556. Hadis yang seumpama ini juga diriwayatkan daripada Ibnu Umar radiyaLlahu 'anhu.

Hukum Ila'


Jika suami bersumpah tidak akan bersetubuh dengan isterinya secara mutlak atau selama lebih daripada empat bulan, beliau telah melakukan ila' terhadap isterinya. Terdapat beberapa hukum syarak berkaitan dengan ila' tersebut :

Hakim hendaklah memberi peluang selama 4 bulan kepada suami bermula dari hari ia bersumpah. Ini akan memberi peluang kepada suami untuk menarik balik sumpahnya dan membayar kafarah sumpah atau menceraikan isterinya

Jika dia tidak mahu rujuk dan tidak mahu membayar kafarah sumpah, hingga tempoh 4 bulan tadi tamat, dan suami tetap dengan sumpahnya, maka ketika itu, hakim berhak mengambil salah satu tindakan berikut :

Memaksa suami menarik balik sumpahnya dan kembali menyetubuhi isterinya serta membayar kafarah sumpah, jika dia bersumpah dengan nama Allah atau bersumpah dengan salah satu sifat Allah. Jika dia bersumpah untuk melakukan sesuatu atau bersedekah dengan sesuatu, dia hendaklah melakukannya.
Memaksa suami menceraikan isterinya jika dia enggan menarik balik sumpahnya dan tetap berpegang dengan sumpahnya.

Sekiranya suami enggan melakukan salah satu daripada perkara di atas, maka hakim berhak menjatuhkan talaq satu bagi pihaknya. Itu adalah hak hakim untuk mengelakkan kemudaratan berlaku kepada orang lain dan tidak ada cara lain melainkan dengan hakim menjatuhkan menjatuhkan talak bagi pihaknya. Ketika itu hakim menggantikan tempat suami dalam menjatuhkan talak. Masalah ini sama dengan masalah membayar hutang dan menjelaskan hak-hak yang berbentuk harta.

Tindakan tersebut dilakukan jika suami tidak mempunyai keuzuran yang menghalangnya daripada melakukan persetubuhan. Jika suami mempunyai keuzuran seperti sakit atau sebagainya, dia hendaklah diminta menarik balik sumpahnya dengan lidahnya sendiri seperti ia berkata : "Jika aku mampu bersetubuh aku akan menarik balik pendirianku dan sumpahku"

KIFARAH SUMPAH

  1. Merdekakan seorang hamba yang mukmin, atau
  2. Memberi makan kepada 10 orang fakirmiskin sehingga kenyang, atau
  3. Memberi pakaian kepada 10 orang fakirmiskin, jika tidak mampu
  4. Berpuasa tiga hari.

Sila rujuk ayat 89 surah al maaidah yang bermaksud : ...maka kafaratnya ialah Memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan yang sederhana yang kamu (biasa) berikan kepada keluarga kamu, Atau memberi pakaian untuk mereka, Atau memerdekakan seorang hamba. Kemudian sesiapa yang tidak dapat (menunaikan tiga pilihan kafarat di atas), maka hendaklah dia berpuasa tiga hari. Yang demikian itu ialah kafarat penebus sumpah kamu...

Setiap orang miskin (yang 10 orang tu) mesti diberikan secupak beras (3/4 cupak Malaysia). Mesti diserahkan kepada setiap orang fakir atau miskin. Tidak boleh bawa mereka belanja makan di kedai, juga tidak boleh ditukarkan kepada wang.


ZIHAR

Iaitu apabila seseorang suami itu menyamakan belakang isterinya dengan belakang ibunya (atau orang yang diharamkan berkahwin dengannya).

Maksudnya menyamakan isteri dengan emaknya sendiri tentang haram disetubuhi (macam sudah cerai).

Maka jika selepas dia berkata demikian tiba-tiba dia diam tidak diringi dengan talaq atau cerai dalam masa kira-kira sempat berbuat demikian, nescaya dinamakan Zihar.

Hal ini dijelaskan di dalam al-Quran yang bermaksud: “Orang-orang yang ziharkan isterinya dari kalangan kamu (adalah orang-orang yang bersalah, kerana) isteri-isteri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan-perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka (dengan melakukan yang demikian) memperkatakan suatu perkara yang mungkar dan dusta. Dan (ingatlah) Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (al-Mujadalah: 2)


RUKUN ZIHAR

1. Suami
2. Isteri
3. Perkara yang diserupakan
4. Lafaz zihar

Untuk mensabitkan rukun ini, beberapa syarat berikut mesti difahami. Syarat yang disepakati oleh jumhur ulama :-


Anggota-anggota yang haram dilihat oleh sesama mahram.

Contoh punggung, perut, kemaluan, tangan, kepala, kaki, rambut, dan lain-lain .

Demikian pandangan kebanyakan ulama, Ulama Hanbali dan Maliki mensabitkan seluruh anggota sama ada haram dilihat mahupun tidak, semuanya boleh mensabitkan zihar (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 9/7173) Pandangan yang rajih adalah pandangan jumhur.


Mestilah anggota-anggota ini daripada wanita yang diharamkan
berkahwin dengan si lelaki samaada tahrim secara berkekalan (muabbad) atau keturunan (nasab) atau susuan dan musoharah. Seperti Ibu, Anak, Adik beradik, Pak cik, Mak cik dan lain-lain yang berkaitan.

Inilah pandangan mazhab utama, juga pandangan Hasan al-Basri, Ato Abi Rabah, As-Syabi, An-Nakhaie, Al-Awzaie, at-Thawry, Ishak Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Thaur.

Pandangan Imam Syafie dalam 'Qawl Qadim': Tidak jatuh zihar terhadap semua wanita kecuali ibu dan nenek sahaja kerana ayat berkenaan zihar itu ditujukan khas untuk ibu. Tetapi 'Qawl Jadid' Imam Syafie meminda ijtihadnya dengan mengatakanjatuh zihar kerana wanita yang diharamkan tadi menyerupai pengharaman ibu (al-Muhazzab, As-Syirazi dan al-Majmu, 19/45)

Manakala yang tidak muabbad seperti wanita asing, adik beradik perempuan bagi isteri dan lain-lain. Tidaklah penyerupaan dengan mereka dianggap zihar. (Lihat Al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah 4/500; Ad-Dusuqi ala syarh al-Kabir 2/439; Ashal al-Madarik 2/169; Kifayatul akhyar 2/71)

Ulama Maliki menambah bahawa binatang juga termasuk dalam kategori yang tidak boleh disamakan. Kerana asalnya manusia tidak boleh berhubungan jenis dengan binatang.

Ulama Maliki juga mensabitkan zihar kiranya menyamakan rambut isteri dengan rambut ibu. Manakala jumhur tidak berpandangan sekian. (Ad-Dusuqi ala syah al-Kabir, 2/439)

Syarat yang diperselisihkan :-

Mestilah diserupakan dengan anggota wanita.

Kiranya ditasybihkan dengan lelaki seperti Belakang atau Punggung kamu seperti belakang atau punggung bapaku. Ulama Hanafi dan Syafie mengatakan TIDAK JATUH ZIHAR.
Bagaimanapun Ulama Hanbali dan Maliki mengatakan JATUH ZIHAR DENGAN SYARAT MENYAMAKAN DENGAN ANGGOTA YANG TIDAK HALAL DILIHAT SEPERTI PERUT, PEHA, KEMALUAN, PUNGGUNG dan lain-lain yang seerti.
Kiranya menyamakan dengan kepala bapa, rambut, hidung dan lain-lain, TIDAKLAH DIANGGAP ZIHAR (Lihat ashal al-Madarik 2/170; Juga al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, 4/499). Semua mazhab mempunyai dalil masing-masing.

Ulama Syafiiyyah mengatakan kiranya tasybih itu bukan pada bahagian haram dilihat tadi, ia bergantung kepada niat, kiranya ia berniat memuliakan, bangga maka tidaklah jatuh zihar, jika sebaliknya maka jatuh zihar. (Kifayatul akhyar, 2/70) 

4. Sighah (Lafaz Zihar), Syarat lafaz untuk untuk sabit zihar adalah :-

a. Perlu kepada niat, jika ianya dibuat secara Kinayah (tidak jelas).

Sighah Sorihah (terang, jelas) seperti: Punggung Dinda benar-benar seperti punggung bonda Kanda. Lafaz seperti di atas tidak perlu kepada niat, bahkan jatuh zihar apabila didengari.
Sighah Kinayah (tidak jelas) pula adalah lafaz-lafaz yang boleh diandaikan bermaksud zihar tapi mungkin juga tidak seperti: Dinda ni seperti bondaku. Lafaz seperti ini kemungkinan bermaksud zihar kemungkinan juga bermaksud memuliakan, hormat, penghargaan dan lain-lain. Maka ia bergantung kepada niat si suami.

Lafaz ini telah ijma di kalangan ulama tentang sabit zihar. Demikian menurut Ibn Munzir ( Lihat al-Majmu Imam Nawawi yang dilengkapkan oleh Syeikh Najib al-Mutie, 19/44)

b. Tidak disyaratkan untuk sabit zihar, mesti menggunakan lafaz yang
memberi pengertian semasa.

Zihar jatuh dengan lafaz yang membawa pengertian semasa seperti : Punggung Dinda benar-benar seperti punggung bonda Kanda
Juga jatuh kiranya diikat dengan waktu tertentu seperti : Kiranya dinda masuk ke rumah itu maka Perut Dinda seperti perut bondaku
Jatuh zihar juga kiranya disandarkan ke zaman akan datang seperti : Awal tahun depan Punggung Dinda mesti macam seperti bonda kanda atau Kanda yakin perut Dinda memboyot seperti perut bonda Kanda dalam masa sebulan.

Semua lafaz tadi cukup untuk menjatuhkan hukum zihar. (Rujuk Al-Bidayah al-Mujtahid 2/117; Matolib Uli An-Nuha 5/507 )

c. Mestilah lafaz tadi disandarkan kepada anggota tubuh wanita samada secara juzu atau sepenuhnya.(Bahagian yang diharamkan lihat tadi tanpa boleh di ihtimal lagi). ( Lihat BadaI as-Sanai , 5/2129 )


HUKUM SETELAH JATUH ZIHAR


Setelah cukup syarat dan sabit jatuh zihar maka beberapa hukum berikut sabit

1. Haram menyetubuhi isterinya (yang diziharkan) kecuali setelah dibayar Kifarah. Ini adalah pandangan jumhur. Menurut tertibnya KIFARAH ZIHAR adalah

Membebaskan seorang hamba yang mukmin, jika tak mampu..
Puasa 2 bulan berturut-turut, jika tak mampu..
Memberikan makanan yang mengenyangkan kepada 60 orang fakir atau miskin, setiap orang 1 cupak makanan,..
jika tak mampu juga makan tetaplah kifarah itu tertanggung keatas dirinya, bila ada kemampuan wajiblah dia sempurnakan seberapa yang terupaya.

Dalilnya adalah daripada Firman Allah SWT surah al-Mujadalah ayat 58.

2. Tidak dibenarkan istimta (bersedap-sedap, berseronok-seronok), sentuh dengan syahwat sebelum membayar kifarah juga tidak dibenarkan (Tahrim Wasail) di sisi ulama Hanafi dan Maliki ( BadaI as-SanaI, 5/2132; Ashal al-Madarik 2/170) Tetapi ianya harus di sisi ulama Syafie (Lihat Rawdah at-Tolibin 8/270; Fath al-Jawad 2/187; Ianah at-Tolibin 4/37)


Pandangan yang rajih adalah tidak dibenarkan dengan tahrim wasail, kerana dibimbangi akan tergelincir ke persetubuhan. Pandangan lebih selamat bagi fatwa untuk orang awam. Kiranya sangat yakin tidak akan tergelincir dan tidak dapat menahan kesabaran hingga dibimbangi memudaratkan, maka ketika itu ia menjadi rukhshoh.

Kesimpulan Jawapan Terhadap Soalan (Mengambil Pandangan yang Rajih)



Hanya jatuh (sabit) Zihar sekiranya menyamakan isteri dengan ibu,

nenek, anak dan semua wanita yang diharamkan suami berkahwin dengannya secara kekal sama ada secara Keturunan, Susuan mahupun Musoharah.
Penyamaan anggota tertentu sahaja yang menyebabkan sabit zihar iaitu Seluruh atau juzuk dari anggota yang haram dilihat semasa mahram. Penyamaan dengan anggota selain itu tidaklah sabit zihar.
Tidak sabit zihar, kiranya menyamakan anggota isteri dengan mana-mana lelaki. Hanya penyamaan dengan wanita sahaja sabit. Begitu juga menyamakan suara, rupa dan sebagainya.
Istimta dengan isteri yang telah dizihar sebelum membayar kifarah adalah tidak dibenarkan dengan tahrim wasail. Dibimbangi akan terlanjur.

JUSTERU, MENYAMAKAN RUPA, HIDUNG ISTERI DENGAN RUPA DAN HIDUNG ANAK TIDAKLAH JATUH ZIHAR,

BAGIAMANAPUN MENYAMAKAN PUNGGUNG ISTERI DENGAN PUNGGUNG ANAK PEREMPUANNYA, SABIT JATUH ZIHAR. Walaupun si suami tidak berniat.

Masalah Kejahilan tentang hukum ini,mempunyai perbincangan yang lain yang agak panjang,
KESIMPULANNYA : Menjadi kewajiban suami isteri sebelum berkahwin mengetahui hal yang berkaitan dengan hubungan suami isteri. Wallahu alam.

Pengertian Talak Dan Macam-Macam Talak


Secara etimologi kata talak (الطلاق) bermakna اَلإِْرْسَالُ وَالتَّرْكُ (Al-Asqalani, Subul as-Salam, II: 168) yaitu melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan.

Secara istilah, ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama, antara lain:

Menurut as-Sayyid Sabiq, III: 206 :


حَلُّ رَابِطَة الزَّوَاجِ وَإِنْهَاءُ الْعَلاَقَةِ الزَّوْجِيّّةِ

“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri"


M Menurut Abdur Rahman al-Jaziri: al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, IV: 278


إِزَالَةُ النِّكَاحِ أَوْ نُقْصَانُ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ

"Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus".

Menghilangkan akad perkwinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga setelah diangkat akad perkawinan tersebut isteri tidak lagi halal bagi suami, seperti talak yang sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan isteri, yaitu dalam talak raj'i, karena talak raj'i mengurangi pelepasan isteri.

Macam-Macam Talak


Ditinjau dari segi waktunya talak menjadi tiga macam yaitu :

1. Talak Sunni

Yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :

a) Isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli maka bukan termasuk talak sunni.

b) Isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid

c) Talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.

d) Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana talak itu dijatuhkan.


Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.

2. Talak Bid’i

Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak sunni. Termasuk dalam talak bid’i adalah :

a) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi) baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.

b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.


Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut :

1. Talak Raj’i

Yaitu setelah terjadi talak raj’i, maka isteri wajib ber iddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada isteri sebelum berakhir masa talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.iddah, maka hal itru dapat dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut suami tidak menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah menjadi talak bain dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah berakhir iddahnya itu suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi dengan talak yang pertama dan kedua saja.

2. Talak Ba’in


Yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.

Talak bain terbagi dua macam yaitu :

a. Talak Bain Sughra, yaitu talak bain yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut. Termasuk talak bain sughra adalah

· talak sebelum berkumpul

· talak dengan pergantian harta yang disebut khulu

· talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau yang semacanya.

b. Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubra terjadi pada talak yang ketiga.

Rukun Dan Syarat Sah Nikah


Rukun nikah

  1. Pengantin lelaki (Suami)
  2. Pengantin perempuan (Isteri)
  3. Wali
  4. Dua orang saksi lelaki
  5. Ijab dan kabul (akad nikah) 

Syarat Sah Nikah

Syarat bakal suami

  1. Islam
  2. Lelaki yang tertentu
  3. Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
  4. Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
  5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
  6. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  7. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
  8. Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri
Syarat bakal isteri
  1. Islam
  2. Perempuan yang tertentu
  3. Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
  4. Bukan seorang khunsa
  5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
  6. Tidak dalam idah
  7. Bukan isteri orang

Syarat wali

  1. Islam, bukan kafir dan murtad
  2. Lelaki dan bukannya perempuan
  3. Baligh
  4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
  6. Tidak fasik
  7. Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
  8. Merdeka
  9. Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya* Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya.


Syarat-syarat saksi

  1. Sekurang-kurangya dua orang
  2. Islam
  3. Berakal
  4. Baligh
  5. Lelaki
  6. Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
  7. Dapat mendengar, melihat dan bercakap
  8. Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
  9. Merdeka
Syarat ijab

  1. Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
  2. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
  3. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
  4. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
  5. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)* Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau dengan Suriani  Binti Ahmad dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak 7 mayam mas tunai".

Syarat qabul

Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
Tiada perkataan sindiran
Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
Menyebut nama bakal isteri
Tidak diselangi dengan perkataan lain* Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikah/perkahwinanku dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak 7 mayam mas tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".

Pengertian Nikah Dan HukumNya


Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.
 Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”

Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..

Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual” .

Kata Nikah Dalam Al Qur’an


Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.

Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” 

Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.

Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.

Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.

Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya."

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح

“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”

Dalam riwayat lain disebutkan :

اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع

“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’”

Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.

Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin.

Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .

Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
I. Hukum Asal Dari Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama,

berkata Syekh al-Utsaimin :

“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .”

Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).

Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.”

Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin :

“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “

Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “

Dalil-dalil mereka adalah :


Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “

Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

II. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya

Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :

Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.

Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.

Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.

Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat.

Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.

Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.

Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.

Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak.

Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.

Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam